CHAPTER ONE
Judul : OUR FATE
Author : nabilahyoung
Length : Chapter
Genre : Fantasy, School Life, Romance, FriendShip, Family.
Rating : PG-13
Cast : All of Member SEVENTEEN, and Other. [Foto bisa diliat di PAGE Fanfiction.]
Note : FF pertama sejak HIATUS 3 tahun, semoga alur tidak kecepetan dan kalian menyukainya :)
Sebenarnya ini FF pesenan/? tapi bisa dinikmati bersama kok.
Silahkan dibaca!
Jangan lupa komentarnya, bisa mention ke @svt_hoshi96
Terima kasih.
WARNING! YAOI DETECTED!
TYPO EVERYWHERE/?
ALL STORY is MINE! DO NOT RE-UPLOAD ~
Hong Jisoo P.O.V
“Wah! Terima kasih, ayah!”
Aku melompat kegirangan melihat ayah masuk ke dalam rumah sambil membawa sebuah mobil-mobilan yang sudah lama kudambakan. Tidak lupa ayah juga membelikanku sebuah pistol yang dapat diisi dengan peluru. Dengan tergesa-gesa ku hampiri ayah dan mengambil kedua mainan tersebut dari tangannya. Aku segera duduk di ruang tengah, lalu bermain dengan kedua mainan baruku tersebut. Ayah melihatku sambil tersenyum. Ibu yang keluar dari kamar bersama adik kecilku mendekati ayah, lalu ibu mencium tangan ayah sebagai tanda selamat datang kembali ke rumah.
Adik kecilku yang manis walaupun dia seorang cowok, berlari kecil mendekatiku yang sibuk bermain. Ibu memperhatikan adik kecilku, takut ia jatuh saat berlari. Saat sampai di tempatku, adikku itu segera duduk tidak jauh dan melihatku bermain dengan antusias.
“Sini, sama kakak. Kita bermain bersama” ajakku sambil menarik pelan tangannya.
Adikku mengangguk lalu ikut bermain bersamaku. Kadang ia naik ke atas mobil-mobilan, lalu aku akan mendorongnya dengan pelan sambil mengeluarkan suara ‘Ngengg..’. Atau kadang ia akan mengambil pistolku, lalu berpura-pura menembakku. Dan aku akan berpura-pura mati tertembak. Tidak hanya itu, aku segera mengambil mainanku yang lain agar permainan semakin seru.
Selama aku dan adikku bermain, ayah dan ibu sibuk berbincang di luar. Aku dan adikku bermain hingga larut malam. Adikku sudah terlihat kelelahan, matanya terbuka tertutup, manis sekali. Dia sepertinya ingin tidur. Dan lama kelamaan, ia tertidur di atas karpet dengan wajah polos. Aku melihatnya sambil tersenyum. Sebenarnya aku juga lelah, tetapi aku sangat senang sehingga tidak mau berhenti bermain. Hanya saja melihat adikku yang tertidur di depanku, membuatku ingin tidur juga. Aku pun memilih membereskan mainan-mainan yang berantakan dengan perlahan supaya tidak membangunkan adikku, lalu keluar menemui ibuku.
“Bu, Seungkwan sudah tertidur di atas karpet. Aku juga ingin tidur.” Seruku kepada ibu.
“Begitukah? Kalau begitu kamu ke kamar sekarang, nanti ayah akan datang untuk membacakan cerita, ya kan yah? Ibu akan menggendong Seungkwan ke tempat tidur” jawab ibu.
Ayah mengangguk sambil tersenyum kepadaku. Aku pun berbalik dan berjalan ke kamarku. Lalu mengambil sebuah buku cerita dari rak buku, dan membaringkan tubuhku di tempat tidur. Kupeluk bantal guling sambil membaca buku cerita itu. Tidak lama kemudian, ayah masuk. Ayah mengambil kursi dari meja belajarku, lalu duduk di dekat tempat tidurku.
“Sedang membaca apa, Jisoo?” tanya ayah.
Aku memperlihatkan cover buku cerita kepada ayah.
“Ohh, Cerita mengenai Putri Salju dan Kurcaci? Bagaimana kalau ayah bacakan?” ucap ayah.
Aku mengangguk lalu memberikan buku cerita tersebut kepada ayah. Ayah menerimanya. Ia lalu membuka halaman pertama dan mulai bercerita. Ayah sangat pandai mengubah suaranya dan bermain peran sebagai tokoh dalam cerita-cerita di buku. Membuatku selalu ingin dibacakan cerita olehnya sebelum tidur. Dan cerita favoritku adalah Putri Salju dan Kurcaci. Putri Salju pasti sangat cantik, dan para kurcaci selalu hadir di mimpiku. Sepertinya aku sangat ingin bertemu dengan para kurcaci. Apakah mereka lebih pendek dariku? Aku kan sudah pendek. Sepertinya mereka sama pendeknya denganku.
Baru beberapa halaman, aku sudah mulai tidak bisa membuka mataku. Dan tanpa sadar aku telah masuk ke dalam alam mimpi, tidur.
“Jisoo... Kamu harus tumbuh menjadi seorang cowok yang kuat ya, seperti ayah. Jangan menangis di depan ibu ataupun adikmu. Jaga adikmu dengan baik. Ingat!”
Ayah muncul dalam mimpiku bersama kurcaci, dan ia memberikan banyak pesan padaku. Aku hanya mengangguk mendengarkan pesannya. Ayah tersenyum, lalu ia berbalik dan pergi.
“Jisoo! Sudah pagi, ayo bangun!” seru ibu dari luar kamar.
Aku terbangun mendengar suara ibu. Bayangan ayah dalam mimpi menghilang. Dan kudapati diriku berada di dalam kamar, di atas tempat tidur. Aku segera bangkit dan membuka tirai serta jendela kamar. Membiarkan matahari dan angin pagi masuk ke dalam kamarku. Matahari belum terik, berarti aku tidak bangun terlambat. Hari ini aku harus masuk sekolah, karena hari ini adalah hari Senin. Dan aku ada upacara. Dengan terburu-buru aku masuk ke kamar mandi, dan tidak lama kemudian aku keluar menggunakan handuk. Kubuka lemari bajuku, dan mencari baju sekolah. Tapi aku tidak mendapatkannya.
“Ibu! Baju sekolahku dimana?” teriakku sambil terus mencari.
Pintu kamar terbuka, aku menengok, mendapatkan ibu yang berdiri sambil membawa baju sekolahku. Aku nyengir. Ibu membantuku memakai baju. Sebenarnya aku sudah bisa memakai baju sendiri, tetapi ibu masih saja sering membantuku. Karena hari ini aku sebagai murid kelas 3 menjadi petugas upacara, aku pun tidak menolak bantuan ibu. Aku harus terlihat tampan hari ini, pikirku. Setelah selesai memakai baju, aku mengambil tas yang sudah aku bereskan sebelum ayah datang membawa mainan tadi malam,lalu keluar kamar.
Aku berjalan ke arah ruang makan dan mendapati adikku sedang makan.Dia sudah bisa memegang sendok sendiri, tentu saja, sekarang kan dia sudah masuk SD. Aku duduk di sampingnya, lalu melihat piringku, Di sana terdapat dua buah roti. Dengan lahap kuhabiskan roti tersebut.
“Ayah dimana?” tanyaku kepada ibu yang sedang mencuci piring di dapur yang tidak jauh dari ruang makan.
“Sedang memanaskan mobil” jawab ibu, ia lalu menyelesaikan cucian piringnya dan mendekatiku.
Diberikannya bekal untuk hari ini, lalu kumasukkan ke dalam tas. Aku mencium pipi adikku sebelum turun dari kursi, dan berjalan keluar. Ayah sedang berada di kursi pengemudi mencoba memanaskan mobil. Aku melambaikan tangan. Ayah tersenyum melihatku. Selesai memanaskan mobil, ayah keluar dari mobil dan mendekatiku yang sedang duduk di teras rumah sambil memakai sepatu.
“Hari ini menjadi petugas upacara ya?” tanya ayah. Aku mengangguk sembari berdiri setelah selesai memakai sepatu. Ayah mengambil tasku. Ibu keluar dari rumah sambil mengandeng adikku. Aku mencium tangan ibuku dan adikku menjulurkan tangannya. Ia ingin mencium tanganku, lucu sekali. Kuberikan tanganku padanya, dan adikku menciumnya. Aku tersenyum, begitu pula ayah dan ibu. Aku dan ayah segera menaiki mobil, takut aku telat sampai di sekolah nantinya.
Aku sampai di sekolah 10 menit sebelum bel berbunyi. Sebelum aku keluar dari mobil, ayah mendekatiku dan mencium keningku. Aku melambaikan tangan ketika mobil ayah berjalan semakin jauh dari gerbang sekolah. Saat mobil ayah telah tidak terlihat, aku masuk ke dalam sekolah sambil menggendong tasku. Hari ini akan menjadi salah satu hari yang menyenangkan, menurutku.
Setelah 5 jam lebih aku berada di sekolah, belajar dan bermain, akhirnya waktu pulang tiba. Bel sekolah berbunyi tepat ketika aku selesai memasukkan buku ke dalam tasku. Aku dan teman-teman yang medengar bel tersebut, bersorak kegirangan. Lalu segera berebutan keluar kelas. Hari ini begitu menyenangkan, membuatku tidak berhenti tersenyum. Saat keluar sekolah, aku mencari mobil ayah, tetapi tidak kutemukan. Apa ayah telat ? pikirku.
Aku pun menunggu ayah datang sambil bermain bola. Tetapi setelah berjam-jam, dan teman-temanku semakin lama semakin sedikit yang berada di sekolah, ayah tak kunjung datang. Saat aku sudah sangat capek, dan memilih duduk di pinggir lapangan, aku melihat ibu masuk terburu-buru ke dalam sekolah dengan wajah cemas. Ketika ibu melihatku, ia segera memelukku. Dan ia menangis. Aku tidak mengerti sebenarnya apa yang ibu tangisi, dan kenapa ia terlihat begitu cemas.
Aku ingin bertanya tetapi kuurungkan. Ibu membawaku keluar sekolah, lalu masuk ke dalam mobil yang ibu kendarai. Di dalam mobil terdapat adikku yang tengah duduk sambil bermain dengan mainannya. Ibu mengendarai mobil sambil menangis ke sebuah rumah sakit. Aku semakin tidak mengerti, apakah ada orang sakit yang mau kita kunjungi, kenapa ibu membawaku dan Seungkwan ke sini?. Lalu dimana ayah? Apa ayah berada di kamar orang yang sakit itu? Apa ini alasan ibu menangis?.
Di benakku banyak sekali pertanyaan, tetapi aku tidak bisa bertanya pada ibu. Saat masuk ke dalam kamar rumah sakit, aku melihat sebuah tubuh terbaring di kasur rumah sakit dengan wajah dan tubuh penuh luka. Matanya tertutup. Aku terbelalak. Tidak mempercayai apa yang kulihat. Aku mendekati tubuh itu, yang kusadari bahwa itu adalah tubuh ayah. Kupegang tangannya. Dan kuperhatikan wajahnya. Aku tidak percaya bahwa ini adalah ayah. Aku menengok kepada ibu. Ia tengah menangis di tepi tempat tidur. Ternyata, ini memang ayah.
Ayah, bangun.. Ayah. Aku berusaha menggerakan tangan ayahku. Tetapi mata ayahku tidak kunjung terbuka. Adikku, Seungkwan, memegang tanganku. Dan menatapku dengan mata tidak mengerti apa-apa.
“Kak, itu siapa?.. kenapa ibu menangis?” ucapnya. Aku tersadar, di sini ada adekku. Dia tidak tau apa-apa sepertiku, bahkan dia lebih tidak mengerti dariku.
Dokter masuk ke dalam kamar, dan mendekati ibu. Ia berbincang dengan ibu beberapa menit. Selama itu aku terus mengenggam tangan adikku sambil memperhatikan wajah ayah, yang terluka. Wajah ayah yang selama ini penuh senyuman terlihat kosong di depan mataku. Matanya yang selalu menatapku lembut, kini tertutup. Tangannya yang biasa mengenggamku dengan hangat, kini dingin seperti es.
Ibu mendekatiku dan Seungkwan. “Jisoo, dengarkan ibu, nanti ibu akan menceritakan semuanya di rumah. Sekarang paman lee sudah menunggu di bawah bersama bibi, kamu dan seungkwan pulanglah dulu bersama paman dan bibi, ya?”
Aku tidak mengerti, aku ingin penjelasan saat ini juga di depan tubuh ayah yang terbaring. Tetapi ibu terus menatapku dengan tatapan menahan tangis sambil mengharapkan bahwa aku tidak akan membantah. Akhirnya aku memilih untuk tidak membantah, dan berjalan keluar kamar bersama Seungkwan. Dengan bantuan suster, aku dan Seungkwan turun ke lantai bawah. Di depan gedung rumah sakit, paman dan bibi berdiri menunggu dengan wajah cemas sekaligus sedih.
“Jisoo! Seungkwan!” panggil bibi ketika ia melihat kami keluar dari gedung rumah sakit. Dipeluknya aku dan Seungkwan dengan erat.
“Bibi, sebenarnya ada apa?” aku mulai tidak bisa menahan diri untuk mencari penjelasan akan semua ini. Kenapa ayah ada di atas ranjang rumah sakit dengan mata tertutup dan tangan dingin? Kenapa ibu menangis?
“Jisoo-ya. Lebih baik sekarang kita pulang. Sepertinya Seungkwan juga sudah lelah, dia perlu tidur.” Ucap Bibi sambil menggengong Seungkwan yang menguap, menandakan ia mengantuk.
Lagi-lagi semua pertanyaanku tidak terjawab.
Paman menggemgam tanganku lalu membawaku masuk ke mobil. Aku hanya menurut sambil terus memikirkan ‘sebenarnya apa yang terjadi’. Di dalam mobil, Seungkwan sudah mulai tidak tahan untuk tidur. Dan akhirnya ia tertidur di pangkuanku. Kupandangi wajah adikku, lalu kuelus rambutnya perlahan. ‘Seungkwan.. apa ayah telah meninggal... apa benar itu? Kenapa ayah meninggal?Jika ayah tidak meninggal, kenapa ia terbaring di ranjang itu... ?’ batinku.
Beberapa saat setelahnya, mobil paman dan bibi sampai di rumah. Bibi menggendong Seungkwan masuk ke dalam rumah, sedangkan paman menggandeng tanganku. Saat sampai di ruang tengah, aku duduk terdiam di atas kursi. Semakin banyak pertanyaan tidak terjawab, pikiranku semakin memberikan banyak pertanyaan baru yang membuatku semakin tidak mengerti. Apa ayah kecelakaan? Atau ayah dibunuh? Padahal ayah masih tersenyum kepadaku tadi pagi.
Tiba-tiba semua kenanganku bersama ayah keluar dan terlintas dengan jelas di pikiranku. Termasuk kenangan tadi malam, saat ayah membelikan mainan baru. Semuanya masih teringat jelas olehku. Senyuman ayah, aku merindukannya. Tangannya yang hangat, tatapan matanya yang lembut, apa aku tidak bisa merasakannya lagi?. Aku semakin merasa sedih, dan akhirnya aku menangis. Bibi mendekatiku, mengelus pundakku. Paman memperhatikan dari ruang tamu. Aku berusaha untuk menghentikan tangisanku, tetapi tidak bisa.
Lalu aku teringat pesan ayah dalam mimpiku. Pesan bahwa aku harus menjadi kuat, bahwa aku tidak boleh menangis apalagi di depan ibu dan Seungkwan. Perlahan aku bisa berhenti menangis. Bibi memberikanku segelas air, lalu aku meminumnya. Tangisanku benar-benar berhenti setelah itu. Tetapi pertanyaan-pertanyaanku masih terus mengangguku. Aku harus segera mendapatkan jawabannya dari ibu.
Beberapa jam setelah itu ibu pulang. Seungkwan masih tertidur di kamarnya. Ibu dan aku berada di ruang tamu. Paman dan bibi pulang. Ibu menceritakan semuanya. Memberikan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Ternyata benar ayah telah meninggal. Ia meninggal dalam kecelakaan di perjalanan menjemputku. Sebuah truk besar yang pengemudinya mabuk menabrak mobil ayah, dan membuatnya tidak terkendali lalu mobil ayah menabrak pohon. Ayah meninggal di tempat, sedangkan supir truk tersebut masih dalam keadaan koma. Aku mendengarkan dengan seksama. Ibu berusaha tidak menangis saat menjelaskannya padaku. Setelah selesai menjelaskan semuanya, ibu memelukku erat lalu menangis.
Ibu berbisik bahwa besok ayah akan dimakamkan.
END P.O.V
Choi Seungcheol P.O.V
Lama sekali, pikirku. Sudah 3 jam aku menunggu Hoshi datang di tempat biasa kami bertemu. Tetapi ia tidak kunjung terlihat juga. Sebenarnya dia kemana? Padahal aku sudah membawakan pesanan komik yang dia mau. Kemaren, dia bertanya padaku tentang beberapa serial komik yang ingin dia baca, dan ternyata aku memiliki semua serial tersebut. Aku pun dengan senang hati membawanya hari ini supaya ia bisa meminjamnya. Tetapi sekarang dia sudah membuatku menunggu 3 jam. Aku benar-benar kesal. Dia terlambat, untuk pertama kalinya.
Saat aku sedang membaca buku komik terakhir dari dalam tas, terdengar suara orang berjalan mendekat. Aku segera bersembunyi, pikiranku mengatakan bahwa itu bukanlah Hoshi. Dan ternyata memang itu bukan Hoshi. Orang tersebut sangat tinggi, untuk seorang anak seumuranku, dengan tatapan mata yang tajam dan kulit gelap. Ia berjalan dengan hati-hati, seperti takut ditemukan seseorang. Di tangannya terdapat sebuah kapak besar. Kapak yang terlihat sangat menyeramkan untukku.
Ia terus berjalan, sambil memperhatikan sekeliling. Kepalanya tidak berhenti bergerak ke kanan lalu ke kiri. Dia mencari sesuatu. Aku terus memperhatikan lelaki besar itu, hingga ia tidak terlihat lagi. ‘Huft... Menyeramkan..’ batinku sambil menghela nafas lega. Suasana saat lelaki itu lewat sangatlah tidak menyenangkan. Hatiku tidak berhenti berdetak kencang. Dan saat lelaki itu tidak terlihat lagi, rasanya sangat lega dan nyaman. Sebenarnya kenapa lelaki itu ada di hutan ini? Padahal hutan ini jarang dimasuki manusia karna orang-orang takut mendengar rumor mengenai Vampire, bangsa kami.
“Hosh.. Hosh..” tiba-tiba Hoshi sudah berada di sampingku dengan nafas terengah-engah. Di tangannya terdapat sebuah bunga yang dikenal sebagai bunga terlarang, Queens, itu sebutannya. Bunga itu berwarna ungu bercampur merah yang sangat indah.
“Dimana kau mendapatkan Queens, Hosh?” tanyaku sambil terus memperhatikan Queens di tangannya.
Hosh menarik nafas panjang lalu menjawab, “Di depan sebuah gua yang besar tidak jauh dari sini. Oh jadi namanya Queens ya? Cantik sekali” nafas Hoshi mulai kembali normal.
Sebuah gua? Memangnya ada gua ya di hutan ini. Sepertinya dulu ayah pernah mengatakan sesuatu tentang gua. Saat aku sedang memikirkan tentang gua tersebut, aku teringat kekesalanku pada Hoshi beberapa saat lalu. Mengenai keterlambatannya.
“Ya! Kwon Hoshi. Kau darimana saja? Kenapa lama sekali? Sudah 3 jam aku menunggu di sini. Kau tau?”
“Tenang, Seungcheol. Tarik nafas... lalu buang. Jangan marah-marah seperti itu. Aku punya alasan yang jelas atas keterlambatanku ini. Dan aku punya jam sehingga aku tau bahwa sudah 3 jam berlalu sejak waktu seharusnya kita bertemu, jadi aku tau kau menunggu lama. Maaf ya”
“Lalu.. apa alasan mu yang jelas itu?”
“Kau lihat, aku membawa Queens. Jadi tadi aku sudah berangkat pada waktu yang tepat dari rumah, tetapi saat melewati gua besar itu, aku melihat Queens yang tumbuh di depannya. Sangat indah! Aku pun memetiknya. Saat aku ingin segera menemuimu untuk memperlihatkannya, tiba-tiba seorang lelaki besar melewati depan gua. Aku pun segera bersembunyi. Lelaki itu lama berada di depan gua, menurutku ia mencari sesuatu. Dia membawa sebuah kapak besar, aku pun tidak berani keluar. Dan kau tau! Dia berada di sana selama 3 jam, duduk lalu merokok adalah yang dikerjakannya. Tetapi matanya tidak pernah berhenti memperhatikan sekeliling. Aku semakin tidak bisa keluar, kau tau betapa menakutkannya tadi? Wuaahh sangat menakutkan!”
Kuperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh Hoshi. Dia menggerakkan tangannya, untuk membantu penghayatan cerita yang dia beritahukan padaku. Menurutku, Hoshi adalah seorang pencerita yang baik. Karena setiap kali dia bercerita sesuatu, aku selalu tertarik mendengarkan dan melihat caranya bercerita. Termasuk kali ini. Dan, aku terpaku mendengar tentang lelaki besar pembawa kapak, yang muncul di cerita Hoshi. Apakah itu lelaki yang sama dengan lelaki besar yang lewat tadi?.
“Jadi, jangan marah ya, Seungcheol. Kau tau situasi tadi sanagt berbahaya. Tidak mungkin aku mengorbakan nyawaku hanya untuk datang tepat waktu.” Lanjut Hoshi sembari ia duduk di batu besar yang memang dari dulu adalah tempatnya. Sedangkan batu yang lebih besar lagi disamping batu Hoshi adalah tempatku.
“Okay, kuterima alasanmu yang berisi cerita panjang itu. Setidaknya itu membuat semuanya jelas. Kau tau...” Aku duduk di batu besar yang telah kuklaim bahwa itu tempatku, lalu mendekatkan bibirku ke telinga Hoshi, untuk melanjutkan perkataanku.
“Lelaki besar yang kau sebutkan tadi, juga melewati tempat ini, beberapa menit sebelum kau tiba-tiba datang dengan nafas terengah-terengah.” Bisikku kepada Hoshi.
Mata Hoshi terbelalak. “Benarkah?” serunya. Ia memandangiku dengan antusias.
“Ya, dia membawa sebuah kapak besar yang berwarna abu-abu kan? Badannya besar sekali, mungkin jika tinggi kita disatukan, baru bisa menyamai tinggi lelaki itu.”
“Wah, jadi dia lewat sini juga? Tetapi untung saja dia tidak duduk di tempat kita ini dan hanya melewatinya. Batu ini sudah jadi milikku sejak sebulan lalu, dan aku tak akan rela orang lain mendudukinya.”
“Haish, kau malah membicarakan tentang batu. Apa kau tidak penasaran, Hosh? Apa yang dia lakukan di hutan ini? Kau kan tau, sudah sebulan kita bermain di sekitar sini, dan selama itu tidak ada seorang pun yang pernah terlihat. Kupikir itu karena rumor yang terdengar tentang bangsaku. Tetapi tiba-tiba ada seorang lelaki besar yang muncul dengan sebuah kapak, seperti mencari sesuatu atau seseorang. Benar-benar mencurigakan.”
“Ya! Itu bukan urusan kita. Jiwa curiga mu memang selalu tidak pernah berhenti. Daripada mengurusi urusan si Lelaki Besar. Lebih baik kita bermain.”
Hoshi memang bukan orang yang suka penasaran sepertiku. Tetapi dia adalah patner yang sangat bisa diandalkan di saat sulit.
Flashback.
Beberapa minggu yang lalu, Hoshi dan aku sedang berkumpul di tempat biasa. Dan pertemuan kami selalu dimulai dengan cerita Hoshi mengenai banyak hal. Kali ini ia bercerita mengenai adikknya, Kwon Mingyu. Bagaimana tinggi Mingyu yang sudah mencapai tingginya padahal ia baru saja naik TK besar. Dan banyak hal lain mengenai Mingyu. Saat Hoshi masih asyik bercerita, mataku menangkap seekor babi hutan gemuk yang tengah bersembunyi di balik semak-semak.
“Seungcheol, kau sedang mendengarkan atau tidak sih?”
“Ssst, Hosh. Liat itu. Ada seekor babi hutan gemuk di sana. Hey, bagaimana kalau kita menangkapnya? Sudah 3 hari aku tidak meminum darah hewan, kau tau.”
“Ya! Aku sedang bercerita. Tidak bisakah kita menyelesaikan ceritaku dahulu? Baru nanti aku akan menemanimu mencari hewan untuk makan?”
“Tidak bisa , Hosh. Aku menginginkan babi hutan itu!”
Hoshi baru saja ingin membantah perkataanku, tetapi aku sudah melompat dan berlari menjauh dari Hoshi untuk mengejar babi hutan yang gemuk itu. Melihat pergerakanku yang mendekatinya, babi hutan langsung kabur. Aku terus mengikuti si babi hutan. Aku tidak tau Hoshi mengikutiku atau tetap duduk di batunya, yang kutau babi hutan akan sangat enak jika dimakan saat sedang gemuk seperti itu. Jarakku dengan si babi hutan semakin pendek, tentu saja, aku kan seorang vampire, walaupun aku masih kecil dan baru memasuki kelas 3 SD tetap saja aku memiliki kecepatan yang lebih cepat dari para manusia.
Saat aku berhasil menangkap babi hutan itu. Srek.. Bruak!
Aku dan si babi hutan yang tengah kupeluk itu, jatuh ke dalam sebuah jebakan yang tertutup daun-daun kering. Tepatnya jebakan itu adalah sebuah lubang besar yang sangat dalam. Tubuhku menabrak tanah keras di dasar jurang, membuat sedikit nyeri di bagian lengan kanan yang menjadi tumpuanku.
“Seungcheol! Kau dimana? Aish... dia cepat sekali kalau dalam masalah lari seperti ini”
Kudengar suara Hoshi yang berasal dari atas lubang.
“Hosh, aku disini! Hati-hati kau bisa terjatuh ke dalam lubang!” seruku sembari mengeluarkan suara terbesarku, supaya Hoshi bisa mendengar.
Tiba-tiba kepala Hoshi muncul di atas lubang. “Ya! Kau kenapa ada di bawah sana?? Lubang ini dalam dan besar sekali. Kenapa kau tidak berhati-hati sih?”
“Sepertinya lubang ini dipakai untuk sebuah jebakan. Aku tidak melihatnya tadi karena si babi hutan. Tak bisakah kau berhenti cerewet dan coba memikirkan cara bagaimana mengeluarkanku dari lubang ini?”
“Arraseo! Kau tunggu di sana saja. Oh ya! Sambil menunggu, lebih baik kau makan si babi hutan itu, katanya kau sudah3 hari tidak meminum darah hewan”
Aku tersadar. Benar juga. Lebih baik kuhabiskan dulu si babi hutan sambil menunggu Hoshi menyelamatkanku. Dalam beberapa menit, bibirku sudah penuh dengan darah si babi hutan. Perutku sudah dipenuhi darah dan daging dari si babi hutan. Kenyang sekali. Saat sedang menghapus darah-darah dari bibirku, sebuah tali tiba-tiba muncul di sampingku.
“Choi Seungcheol! Cepat kau pegang ujung tali itu, aku akan menarikmu!” teriak Hoshi dari atas.
Aku segera mengambil ujung tali itu dan memegangnya dengan erat. “Sudah, Hosh” jawabku untuk memberi sinyal bahwa dia bisa menariknya. Perlahan, sedikit demi sedikit, tubuhku naik ke atas. Dan dalam beberapa menit, Hoshi sudah berhasil membuatku keluar dari lubang besar yang dalam itu. Kekuatan tubuh Hoshi memang menakjubkan. Dia bisa menarik tubuhku keluar.
“Kau menyusahkanku saja. Tubuhmu itu berat juga, ternyata. Huft.” Keluh Hoshi sembari membereskan tali yang ia pakai untuk menarikku. Aku duduk menyenderkan tubuh di sebuah pohon.
“Aku kan memang lebih berat darimu, Hosh. Kupikir kau tidak akan bisa menarikku keluar, tetapi ternyata kau bisa. Apa itu kekuatan spesial dari seorang manusia setengah serigala?”
“Kami, bangsa manusia setengah serigala, memang memiliki tubuh yang lebih kuat dari para manusia. Mungkin jika aku adalah manusia, kau tidak akan pernah bisa keluar dari lubang itu. Seharusnya kau berterima kasih kepadaku!”
“Ya.. ya. Terima kasih, Hoshi. Urgh...” tanganku yang tadi sempat terluka karena menjadi tumpuan saat aku jatuh ke lubang, mulai terasa nyeri. Hoshi kaget melihatku meringis, ia mendekatiku.
“Tanganmu tergores. Sepertinya dibawah tadi ada ranting-ranting kecil dan beberapa ranting menusuk tanganmu. Luka ini harus segera disembuhkan, kau tunggu di sini sebentar”
Aku mengangguk sambil mengigit bibir menahan sakit. Hoshi segera menghilang entah kemana. Lalu dalam beberapa menit setelahnya, Hoshi kembali membawa daun-daun yang tidak begitu banyak. Ia mengeluarkan sari daun tersebut lalu mulai mengoleskannya ke luka ku. Tidak lupa ia memijit lenganku, kadang dengan sangat keras, membuatku berteriak.
“Sepertinya tulangmu ada yang retak. Kira-kira berapa lama ini akan sembuh sendiri, Seung?” tanya Hoshi sembari merobek lengan kaos bajunya lalu mengikat robekan itu di lukaku, untuk menutup luka tersebut sehingga kotoran tidak masuk ke dalam luka.
“Mungkin 3 hari, Hosh. Kau tau, aku masih kecil. Kekuatan penyembuhku belum benar-benar sempurna.” Jawabku. Pengobatan pun selesai.
“3 hari ya? Mungkin lebih baik sekarang kita pulang. Hari ini dan 3 hari setelahnya, kita tidak usah bertemu dulu. Kau harus menyembuhkan diri. Aku tidak mau kau memaksakan datang ke tempat biasa dengan keadaan seperti ini” ucap Hoshi. Aku pun mengangguk mengerti.
Setelah itu Hoshi membantuku berdiri, lalu aku pun diantar pulang olehnya.
Flashback end.
Hoshi memang penuh dengan kejutan. Kekuatannya yang lebih kuat dari para manusia, dan pengetahuannya mengenai pengobatan, menurutku sangat menakjubkan. Aku selalu ingin memiliki hal seperti itu. Kejadian tentang lubang itu hanya salah satu dari kejadian-kejadian lain yang melibatkan kekuataan dan pengobatan Hoshi. Aku merasa seperti terkalahkan olehnya. Tetapi Hoshi bukan orang yang suka memamerkan kelebihannya. Ia malah lebih suka memujiku dengan kekuatanku sebagai seorang vampire.
“Ya! Choi Seungcheol, kenapa kau melamun? Memikirkan apa sih? Cepat, sekarang kita akan segera bermain kelereng, aku sudah membawa banyak kelereng dari toko nih!” seru Hoshi. Ia sedang duduk di tanah yang tidak ada rumputnya. Di atas tanah itu terdapat banyak kelereng.
Saat aku mau berjalan mendekati Hoshi. Kakiku menabrak tas hitam, dan membuatnya jatuh. Aku teringat mengenai komik yang kubawakan untuk Hoshi. Kuambil tas hitam itu, lalu kutaruh lagi di dekat batu. ‘Aku akan memberikan komik itu saat ia akan pulang nanti’ pikirku. Aku pun segera mendekati Hoshi setelahnya, dan kami pun mulai bermain kelereng.
3 jam terasa sangat cepat. Langit sudah mulai gelap. Kami sudah bermain banyak permainan. Dan Hoshi juga sudah menceritakan banyak cerita. Kini aku dan Hoshi sedang membaringkan tubuh kami di atas rumput, dan menatap langit yang berwarna kejinggaan. Kami sangat lelah.
“Hari ini seru sekali. Dan sangat menyenangkan seperti hari-hari sebelumnya.” Ucap Hoshi lalu menengok dan memperhatikanku.
“Ya, kau benar. Hari ini akan menjadi kenangan yang indah seperti hari-hari sebelumnya” tuturku sambil tersenyum.
“Oh ya Hosh!” aku teringat dengan tas hitam berisi komik. Aku segera bangkit mengambilnya.
“Kau ingat mengenai pembicaraan kita kemarin? Mengenai serial-serial komik yang kau mau? Ternyata aku memilikinya di rumah. Dan aku membawakannya untukmu. Ini!” aku menaruh tas hitam di samping Hoshi yang masih tiduran. Ia kaget. Ia segera duduk dan melihat tas hitam tersebut.
“Wah! Kau baik sekali!” seru Hoshi sambil membuka tas hitam itu dan memeriksa semua komik di dalamnya.
“Lengkap! Semua yang kuinginkan ada di sini. Hebat!” Mata hoshi tidak bisa lepas dari memperhatikan komik-komik itu. Ia sangat senang. Aku tersenyum, ikut senang melihatnya.
Setelah Hoshi membaca sekilas komik-komik itu, ia pamit pulang karena malam telah tiba. Hoshi pulang sambil bersiul, itu merupakan kebiasaannya saat ia merasa sangat senang. Setelah Hoshi tidak terlihat, aku pun berjalan pulang ke rumah. Karena energi ku terkuras habis gara-gara bermain dengan Hoshi, aku tidak bisa memakai kecepatanku untuk segera sampai di rumah. Sehingga aku memilih untuk jalan perlahan. Lagipula rumahku tidak sejauh rumah Hoshi.
Saat sampai di depan rumah, aku melihat pintu rumah tidak tertutup. Selain itu lampu-lampu tidak ada yang menyala, padahal biasanya para pelayan akan menyalakan lampu jika malam tiba. Aku merasa aneh.
Dengan hati-hati, aku memasuki rumah. Kubuat langkah-langkah kecil tak bersuara. Perasaanku tidak enak. Suasana rumah sangat menyeramkan, dan menusuk. Rumahku sangat besar, dan hanya dihuni olehku, adikku, para pelayan dan koki. Kedua orang tuaku jarang di rumah karena pekerjaan. Sedangkan adikku sedang berada di rumah bibi. Tidak jarang aku merasa rumah ini seram karena banyak ruangan yang tidak ada penghuninya. Tetapi saat ini rumah ini lebih seram lagi.
“Halo?” aku mencoba memanggil siapapun yang mungkin berada di rumah ini. Setidaknya jika ada satu atau dua pelayan, aku akan merasa lebih tenang. Tetapi tidak ada suara yang menjawab.
Kubuka pintu dapur, untuk mencari koki kelaurga kami, Kim Jong Woon namanya. Ia selalu berada di dapur, karena menurutnya dapur adalah rumahnya. Ia bahkan diberikan sebuah sofa besar oleh kedua orang tuaku, dan diletakkan di dapur. Sofa tersebut berfungsi sebagai tempat koki kami ini tidur.
Aku melangkah perlahan memasuki dapur. Lampu tidak menyala, semua sangat gelap. Aku tidak bisa melihat apapun di dalam dapur. Aku merasakan sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang kusukai, bau darah manusia. Sebagai seorang vampire, darah manusia adalah hal yang paling memabukkan. Sejak kecil, ayah dan ibu sudah berpesan kepadaku untuk menjauh dari para manusia, karena aku masih belum bisa mengatur nafsuku yang bergejolak setiap kali mencium darah manusia. Koki kami, Jong Woon, merupakan seorang manusia. Oleh karena itu, aku tidak diperbolehkan untuk sering berada dekat dengannya.
Kucoba mencari saklar untuk menyalakan lampu. Kuraba dinding –dinding yang tidak jauh dari pintu masuk dapur. Dan, aku mendapatkan saklarnya.
Lampu pun menyala.
Mataku terbelalak. Dapur yang selama ini mengkilap dengan perpaduan warna biru dan putih. Kini sudah berlumuran dengan warna merah yang baunya sangat kukenal. Bau darah manusia. Spontan aku mundur satu langkah. Kupandangi seluruh ruangan, dan mendapati tubuh Jong Woon, koki kami, sudah tidak bernyawa lagi di atas sofa pemberian orang tuaku. Tepat di dadanya, terdapat sebuah pisau yang menancap cukup dalam. Tangannya penuh dengan luka tergores pisau, darah-darah masih mengalir adri luka tersebut.
Tidak jauh dari tempat tubuh Jong Woon, aku menemukan tubuh lain. Sebuah tubuh yang kepalanya tertancap kapak di bagian atas, membuat kedua matanya dipisahkan oleh bilah kapak tersebut. Darah dari kepala itu mengalir deras ke bawah. Mata kepala tersebut membesar, seakan ia sedang terkejut. Pemandangan yang menyeramkan, dan juga menjijikkan, menurutku. Aku tidak bisa melihat pemandangan ini lebih lama, karena mungkin aku akan kehilangan kendali, dan mulai menghisap darah-darah dari tubuh yang sudah tidak berdaya itu. Aku segera berbalik dan berjalan tergesa-gesa keluar dapur.
Di lantai atas terdapat sebuah kamar yang merupakan kamar besar sebagai tempat beristirahat para pelayan yang bekerja di rumah ini. Akuberjalan menuju kamar itu. Satu persatu anak tangga kunaiki dengan hati-hati. Hal yang tadi kulihat membuatku semakin menaikkan pengawasan terhadap sekeliling, mengingat lampu tidak ada yang menyala dan seluruh rumah gelap gulita. Saat sampai di lantai atas, kakiku menginjak sesuatu yang lincin. Mungkin itu hanya bekas dari para pelayan yang tengah membersihkan lantai. Setiap sore, beberapa pelayan memang bertugas untuk membersihkan lantai hingga bersih mengkilap.
Aku pun tidak mempedulikan jalan yang licin. Dan terus berjalan sambil berpegangan pada dinding-dinding. Kamar yang sedang kutuju tidak terlalu jauh dari tangga, sehingga aku tidak terlalu kesusahan terus berjalan sambil berpegangan.
Kubuka pintu kamar tersebut. Sama seperti dapur, tidak ada sesuatu pun yang terlihat. Lampu yang mati benar-benar membutakan penghilatan mataku. Aku segera mencari saklar lampu, dan menekan tombolnya. Tetapi lampu tidak juga menyala. Sepertinya lampu kamar ini rusak. Aku pun mencari senter. Setahuku, para pelayan selalu menyiapkan senter di lemari dekat pintu sebagai persiapan jika tiba-tiba lampu di rumah ini mati, sehingga mereka bisa segera mengambil senter dan mengecek keadaanku serta Hansol. Kuraba perlahan dinding dekat pintu lalu turun ke bawah mencari lemari kecil tempat penyimpanan senter.
Oke, aku menemukannya. Kubuka laci lemari kecil tersebut, dan mengambil sebuah senter. Senter itu tidak besar, tetapi aku tidak peduli, yang penting senter itu bisa membantu penglihatanku walaupun sedikit. Sambil berusaha menyalakan senter, aku berjalan semakin ke dalam ruangan. Tepat saat senter itu menyala, kakiku seperti menendang sesuatu yang keras. Aku segera mengarahkan senter ke arah dekat kaki.
“Aaaaa!...” tanpa sadar aku berteriak. Itu KEPALA! Hanya sebuah kepala. Kepala seorang perempuan, yang kukenali sebagai salah satu pelayanku. Kepala dengan mata terbelalak.
Aku mundur ke belakang. Dan dengan hati berdegup kencang, aku mencoba mengarahkan senter ke seluruh ruangan. Sekali lagi, aku mengambil langkah mundur. Kamar yang luas itu sudah dipenuhi darah di mana-mana. Setiap kasur yang ada, diatasnya terdapat tubuh-tubuh yang tidak utuh lagi. Ada yang hanya tangan, hanya kaki, atau hanya badan. Dan para kepala ternyata berada tidak jauh dari kakiku berpijak. Aku tidak bisa menahan diri lagi, dan akhirnya berlari keluar kamar sambil mengarahkan senter ke arah depan kakiku, untuk menunjukkan jalan.
Lalu aku tersadar bahwa lantai tadi licin bukan karena para pelayan membersihkannya, tetapi karena darah yang sangat banyak. Darah tersebut bermula dari tangga, dan sepertinya darah itu berasal dari sesuatu yang diseret ke atas lewat tangga lalu melewati lorong dan berakhir di kamat para pelayan tadi. ‘Apa ini darah para pelayan?’, pikirku. Aku tidak berhenti berjalan tergesa-gesa sambil terus menaikkan pengawasanku ke sekitar.
‘Sebenarnya kenapa semua orang terbunuh? Siapa yang melakukannya? Apa dia masih ada di rumah ini? Aku harus segera kabur, tidak bisa terus berada di sini. Sangat berbahaya’ batinku sambil menuruni tangga dengan cepat tetapi hati-hati. Saat hendak segera keluar rumah, tiba-tiba terlihat bayangan dua orang yang tengah ingin memasuki rumah. Aku segera bersembunyi di belakang sofa ruang depan, dan mematikan senter. Kututup mulutku yang sedang menarik nafas dengan terengah-engah.
Kudengar langkah kaki memasuki pintu rumah. Tetapi tiba-tiba langkah kaki itu berhenti. Aku semakin tidak bisa menahan ketakutanku. Apa itu pembunuh pelayan dan koki? Jadi mereka berdua? Kenapa mereka masuk dari pintu depan, kupikir mereka sudah berada di dalam rumah?, banyak sekali pertanyaan dan perkiraan yang kupikirkan sambil mencoba menurunkan rasa takutku. Tidak lama kemudian, langkah itu mulai terdengar, dan langkah itu mengarah semakin dekat kepadaku. Aku menutup mata.
Srek... Sofa ditarik menjauh dariku. Aku tidak berani membuka mata. Aku tidak bisa menggerakan tubuhku. Sampai...
“Seungcheol?” Suara itu kukenal. Tubuhku sudah bisa digerakkan. Itu suara AYAH!
“Seungcheol-ah, kau selamat! Syukurlah!” Kini suara ibu terdengar juga. Dan tiba-tiba aku merasa terpeluk dari belakang. Kucium baunya, dan itu adalah bau shampo ibu.
“Ibu...” suara serak, seperti menahan tangis.
“Tenanglah nak, ibu dan ayah di sini.” Suara ayah terdengar, aku memberikan senter kepada ibu dan kulihat ayah duduk di sebelah ibu.
Lalu tanpa kusadari aku menangis, menangis sekeras-kerasnya, semua perasaan takutku keluar. Aku ingin bersandar kepada ibu lebih lama. Ibu mengelus rambutku. Setelah aku selesai menangis, aku dibawa ibu keluar rumah. Dan dalam waktu singkat, aku sudah berada di rumah Bibi, tempat Hansol berada. Ibu dan Ayah memang memiliki kecepatan jauh diatas ku, mungkin saat aku besar nanti, aku pun akan memiliki kecepatan seperti mereka.
“Kakak!” Suara Hansol terdengar olehku. Aku melihat ke arah rumah Bibi, dan disana ada Hansol berdiri sambil melambaikan tangan padaku. Ia tersenyum, dan itu membuat hatiku tenang.
“Sementara ini kita akan tinggal di sini. Ayah tau kau sudah melihat yang tidak seharusnya. Maafkan ayah terlambat datang. Harusnya ayah sadar lebih cepat mengenai ini. Tetapi ayah sangat bersyukur, kau tidak terluka dan selamat.” Ucap ayah sambil membawaku masuk ke dalam rumah bibi.
Aku tidak bersuara. Ibu menurunkanku di atas sofa ruang tamu rumah bibi. Ibu duduk di dekatku, lalu mengelus kepalaku pelan.
“Sekarang kau tidurlah. Ibu dan ayah yang akan menjagamu. Tidak akan ada yang bisa menyentuhmu sekarang. Jangan khawatir.” Ibu tersenyum. Aku pun menurut. Kucoba menutup mataku untuk tidur. Aku ingin segera melupakan apapun yang kulihat hari ini. Tubuhku lelah sekali. Dan tiba-tiba aku teringat Hoshi. Aku harus bagaimana? Jika aku tinggal di rumah bibi, aku tidak bisa kesana, terlalu jauh. Selain itu, ada kemungkinan pembunuh itu berada di sana karena tempat itu tidak jauh dari rumahku.
Akhirnya, aku tidak bisa tidur. Aku membuka kembali mataku. Ibu memperhatikan dengan tatapan heran.
“Kenapa, nak?” tanya Ibu. Ia masih mengelus kepalaku.
Aku menceritakan tentang Hoshi. Selama sebulan ini, saat aku dan Hoshi bermain di hutan, Ibu dan Ayah tidak mengetahui apapun. Itu karena mereka lebih sering di luar rumah, sehingga aku bebas kemanapun. Makanya aku bisa pergi ke hutan tanpa pengawasan. Selain itu, setiap kali aku ingin menceritakan Hoshi, mereka tidak pernah ada waktu. Dan aku pun memanfaatkan kesempatan ini untuk bercerita semua hal tentang Hoshi. Ibu mendengarkan sambil sesekali terkejut.
“Ibu senang kau memiliki teman. Dan ibu tidak menyangka bahwa temanmu adalah seorang manusia setengah serigala. Karena sebenarnya bangsa Vampire dan Serigala tidak berteman baik.” Ujar ibu.
“Tetapi bukan berarti anak-anak bangsa Vampire dan Serigala harus mengikuti hal tersebut kan? Walau para orang dewasanya tidak berteman baik, ibu pikir anak-anaknya bisa saja berteman baik jika mereka nyaman satu sama lain” lanjut ibu.
Aku baru tau bahwa bangsaku dan bangsa Hoshi tidak berteman baik. Dan mendengar penjelasan ibu hingga akhir membuatku tenang, karena ibu tidak menentang pertemanan kami.
“Hanya saja sepertinya untuk saat ini kamu tidak bisa bertemu atau bermain dengannya lagi. Kamu harus tetapi di rumah agar aman. Tidak bisa keluar sembarang. Kamu sudah liat kan apa yang dilakukan para pengejar vampire itu? Mereka berencana membunuh kita semua, dan siapapun yang terlibat dengan kita. Jadi lebih baik kamu menjauh dari hutan, dan juga temanmu. Demi kesalamatan dirimu maupun keselataman temanmu itu.” Ibu memperingatiku. Wajahnya serius.
“Pengejar vampire? Kita dikejar? Kenapa begitu, bu?”
“Ceritanya panjang. Ibu akan menceritakannya saat kamu sudah beranjak remaja nanti. Saat ini cukup dengarkan ibu, ok?”
“Tapi bu, Hoshi akan menungguku jika aku tidak memberitahukannya. Dan nyawa dia bisa terancam jika berada di sana, di dekat rumah.”
“Oke, ibu mengerti. Ibu dan Ayah akan menemuinya dan menjelaskan padanya tentang keadaan kita, para vampire, terutama keadaanmu. Agar ia mengerti dan tidak menunggu di sana lagi.”
“Benarkah? Syukurlah kalau begitu.” Hatiku lega mendengar perkataan ibu. Setidaknya Hoshi tidak akan menunggu dan ia akan baik-baik saja. Kuharap Hoshi mengerti.
Setelah itu, aku pun perlahan menutup mata, dan masuk ke dalam alam mimpi.
Author P.O.V
Cowok itu merenggangkan tangannya. Ini adalah pagi pertamanya di Seoul. Kemarin, ia baru saja pindah ke sebuah apartement di tengah kota Seoul. Perjalanan ke Seoul dari tempatnya tinggal dahulu sangatlah panjang dan melelahkan. Membuatnya langsung tertidur ketika sampai di Apartemen pada tengah malam. Dan kini disinilah ia, sedang mencari udara segar di luar Apartement.
Jalanan di depan Apartement saat pagi hari seperti ini sudah ramai oleh orang lalu lalang. Banyak juga yang seperti cowok itu, sedang merenganggkan tubuh. Ada juga yang sedang berlari-lari kecil. Bahkan ada sebuah pasangan kakek nenek yang melewati cowok itu sambil berbincang-bincang hangat. Melihat pasangan itu membuat cowok itu tersenyum.
Karena sibuk memperhatikan orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Cowok tersebut berjalan tidak sambil melihat ke depan. Dan tiba-tiba ia bertabrakan dengan seorang lelaki yang bertubuh besar. Tubuh lelaki itu berotot dan tinggi, sangat memungkinkan untuk mendorong tubuh cowok itu jatuh dengan cukup keras. Semua orang langsung menatap si cowok itu.
“Ya! Kau seharusnya memperhatikan ke depan saat berjalan, anak muda. Dan jika kau ingin berolahraga di pagi hari, lebih baik ikat rambut panjangmu itu!” Lelaki yang menabrak si cowok memberikan nasehat kepada cowok yang masih terduduk di atas trotoar. Tetapi setelah berbicara, lelaki itu tidak membantu si cowok berdiri, ia hanya berjalan melewatinya, seakan tidak peduli.
Saat cowok itu mencoba untuk berdiri, tiba-tiba ada sebuah tangan terjulur di depan wajahnya. Ia mendongak dan mendapati seorang cowok yang tersenyum sambil menatapnya. Cowok tersebut sedang mengenakan pakaian santai, seperti ia juga sedang berolahraga.
“Apa kau tidak apa-apa? Biar aku membantumu berdiri.” Ujar cowok yang menjulurkan tangannya.
“Ah.. aku tidak apa-apa. Terima kasih” Cowok berambut panjang yang terjatuh itu menerima uluran tangan tersebut.
“Ini untukmu, sepertinya tanganmu lecet karna bergesekkan dengan aspal” Cowok berambut panjang itu kaget melihat cowok di depannya memberikan sebuah sapu tangan untuknya. Ia memandangi sapu tangan tersebut tanpa mengambilnya.
“Sudah ambil saja. Aku harus pergi, sekarang. Maaf tidak bisa membantu mengobati lecet di tangan dan kakimu. Semoga cepat sembuh, dan hati-hati ya” Cowok itu menaruh sapu tangan di tangan cowok berambut panjang sambil tersenyum, lalu pergi.
Cowok berambut panjang melihat sapu tangan yang ada di tangannya sekali lagi. Ia tidak percaya ada seseorang yang bahkan ia tidak kenal memberikan sebuah sapu tangan untuk luka kecil yang dialaminya.
Ia pun segera mencari tempat duduk sambil melihat dimana saja ia mendapatkan luka lecet karena bertabrakan tadi. Saat baru saja duduk, terdengar suara yang ia kenal sedang memanggilnya.
“Junghan Hyung!” suara itu adalah suara adiknya, Yoon Dino.
Junghan menengok, melihat adiknya sedang berlari mendekatinya. Nafasnya terengah-engah.
“Ya! Hyung! Kau bilang, kau ingin pergi ke supermarket kepada paman, aku pergi ke sana mencarimu, tetapi kau tak ada. Dan ternyata kau berada di sini.” Dino sampai di depan Junghan, ia menarik lalu membuang nafas beberapa kali, hingga akhirnya nafasnya kembali normal. Dilihatnya Junghan yang tengah me-lap tangan dan kakinya dengan sebuah sapu tangan. Ketika ia perhatikan baik-baik, ia baru sadar bahwa tangan dan kaki kakaknya itu terluka.
“Hyung, kenapa kau bisa terluka seperti ini? Kau terjatuh?” ucap Dino dengan khawatir, ia duduk di samping Junghan sambil memperhatikan setiap luka kakaknya.
“Ya, tadi aku terjatuh karena sesuatu. Dan inilah yang kau lihat, aku mendapat beberapa lecet karena bergesekkan dengan aspal.” Jawab Junghan sambil terus me-lap darah yang keluar dari lukanya dengan hati-hati. Sesekali Junghan menggigit bibir menahan sakit.
“Lebih baik kita pulang, dan membersihkan lukamu. Lukamu itu tidak akan menghilang hanya dengan di-lap oleh sapu tangan itu. Kajja!” Dino menggengam tangan kakaknya, dan menariknya berdiri lalu berjalan ke arah tangga Apartement.
Junghan menggelengkan kepala. Adiknya ini sangat cerewet jika sudah bersangkutan dengan masalahn luka. Itu mungkin karena sejak kecil ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Ia pun menurut dan mengikuti adiknya menaiki tangga Apartement. Kamar Apartement tempat mereka tinggal bersama paman berada di lantai 4. Saat sampai di saat, Paman sedang tidak berada di tempat, ia sedang bekerja. Junghan menghela nafas lega, ia tidak mau Paman ikut khawatir seperti Dino hanya karena luka kecil seperti ini.
Setelah sampai di kamar Junghan, Dino segera keluar mengambil kotak P3K. Junghan menunggu Dino sambil duduk di tempat tidurnya. Dino kembali dengan kotak P3K dan semangkuk air. Dino pun mulai membersihkan luka Junghan. Ia mulai dari luka di tangan, lalu luka di kaki. Tidak lupa Dino menutupi kedua luka itu dengan kapas yang dibalut selotip, agar luka tersebut tidak dimasuki kuman atau virus. Junghan menutup mata, dan sesekali menggigit bibir saat Dino melakukan pembersihan pada lukanya.
“Sudah selesai. Sebaiknya kau berhati-hati setelah ini, Hyung. Aku tak mau melihatmu terluka lagi. Kau tau itu kan?”
“Arraseo, Dino. Maafkan Hyung, ya? Lagipula ini hanya luka kecil, kau seharusnya tidak terlalu cemas seperti itu”
“Tetapi tetap saja ini luka, hyung. Mau luka kecil maupun besar”
“Arra-arra. Sudahlah, Hyung tidak apa-apa sekarang.” Junghan tersenyum sambil mengelus rambut adiknya sebentar.
Setelah itu, Dino keluar kamar sambil membawa kotak P3K dan mangkuk yang ia gunakan tadi, memberikan waktu untuk Junghan beristirahat. Junghan membaringkan tubuhnya di atas kasur, lalu menatap langit-langit kamar.
“Cowok tadi baik sekali. Aku harus mengembalikan sapu tangan ini jika suatu saat bertemu dengannya lagi.” Ucap Junghan sambil mereka ulang kejadian saat cowok pemilik sapu tangan menolongnya tadi.
Junghan menutup mata, mencoba untuk mengistirahatkan tubuhnya yang sedikit terasa perih karena luka lecet itu. Tidak lama kemudian, Junghan tertidur.
Yoon Junghan P.O.V
Ugh, sinar matahari yang panas membuatku terbangun. Kuusap mataku dan mulai membukanya sedikit demi sedikit. Aku sedang berada di kamar. Penglihatanku agak kabur. Dengan susah payah, aku mencoba untuk melihat jam yang berada di dinding depanku. Sepertinya sudah jam 1 siang, pantas matahari sudah panas. Aku mendudukkan tubuhku di kasur, dan membuka selimut yang menyelimutiku.
“Eng? Sepertinya tadi aku tidak memakai selimut saat tidur, pasti Dino yang memakaikannya” ujarku sambil bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.
Setelah menyegarkan tubuhku dengan air di dalam kamar mandi, aku keluar kamarku, dan menemukan bahwa tidak ada siapapun di kamar apartement ini. Aku pun berfikir untuk membereskan barang-barangku yang masih berada di dalam kardus. Kemarin aku tidak sempat untuk melakukannya, dan sekarang aku memiliki waktu luang. Selain itu aku harus menyiapkan banyak hal karena paman bilang ia sudah mendaftarkanku ke dalam sebuah SMP yang tidak jauh dari sini.
Sebelum mulai membereskan barang-barang, aku mengambil segelas air minum dan meminumnya. Selama 4 jam, aku sibuk membereskan barang-barang. Tubuhku tidak berhenti bergerak ke sana kemari di dalam kamarku untuk menaruh barang. Aku membawa cukup banyak barang dari rumah lama, jadi tak heran kalau membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkan semua dari kardus dan membereskannya.
Saat ku lirik jam setelah selesai membereskan seluruh barang, aku melihat bahwa jam sudah menujukkan pukul 5 sore. Aku pun segera mandi, karena aku harus menyiapkan makan malam. Tidak mungkin kan jika aku numpang tinggal di rumah Paman, tetapi aku tidak membantunya melakukan sesuatu.
Aku baru selesai mandi dan menyiapkan makan malam beberapa menit setelah jam 6. Saat itulah pintu terbuka, dan kulihat Dino masuk membawa sebuah plastik hitam. Kukira isinya adalah buku.
“Kau membeli buku lagi, Dino?” tanyaku.
“Hehe, iya hyung. Aku pikir aku akan membutuhkan banyak buku baru untuk dibaca karena buku-buku lama sudah kubaca semua.” Jawab Dino sambil menaruh plastik di atas meja ruang makan.
“Semua? Padahal buku-buku lama kan sangat banyak, dan kau sudah membaca semuanya? Kau memang suka sekali membaca buku.” Ujarku sambil membawa makan malam yang telah selesai ku masuk ke meja makan.
“Wah, hyung sudah memasak makan malam? Pasti enak. Masakan hyung kan sama seperti ibu.” Aku tersenyum mendengar pujian Dino, tetapi di sisi lain aku merasa sedih karena dia menyebut nama ‘Ibu’.
“Tentu, hyung sudah membuatnya. Hyung tidak mau kita hanya menumpang begitu saja di rumah Paman. Setidaknya kita harus membantunya dalam sesuatu.” Jelasku. Dino mengangguk.
“Nanti aku akan membantu paman jika suatu saat ia sakit. Aku memiliki banyak obat di tas.”
“Oh ya benar, kau paling mengerti masalah obat-obatan. Tidak heran sih, ayah kan dulu seorang dokter.”
“Aku mewarisi bakat ayah sebagai dokter, dan Hyung mewarisi bakat ibu dalam memasak.”
“Ya sepertinya begitu. Sekarang makanlah sambil menunggu paman pulang” ucapku sambil duduk di kursi depan Dino. Aku mulai menuangkan nasi di piring Dino dan piring ku lalu membagi lauk serta sayur yang kubuat.
“Selamat makan!” seru Dino lalu segera melahap makanan yang ada di piringnya dengan lahap. Melihat itu, aku pun ikut lapar dan mulai memakan masakan buatanku itu.
“Enak! Kau sungguh berbakat, hyung! Mungkin suatu saat nanti, kau bisa membuat sebuah restoran.”
“Ya! Habiskan makananmu saja, dan berhenti memujiku, Dino. Kau tau aku tidak sehebat itu. “
Baru saja Dino ingin berbicara lagi, aku sudah menatapnya dengan tatapan ‘Cepat makan!’ dan itu membuatnya tidak jadi membuka mulut dan mulai fokus menghabiskan makanan di piringnya.
Beberapa menit kemudian, Paman pulang. Ia pulang dengan wajah lelah. Tetapi ketika melihat makanan sudah tersaji di meja makan, wajah paman langsung berubah menjadi cerah. Ia segera duduk di sampingku dan mengambil nasi lalu mulai mencari lauk dengan semangat.
Paman merupakan seorang lelaki yang baru berumur 20 tahunan, ia tidak memiliki istri, sepertinya ia belum menemukan istri yang tepat. Paman merupakan seorang yang ceria dan penuh humor, selain itu ia juga baik dan perhatian kepada kami sejak aku kecil. Aku dan Dino sangat menyayangi paman kami, Yoon Soohyung, namanya.
“Pelan-pelan, paman.” Ucapku saat melihat paman makan dengan sangat cepat. Sepertinya ia sangat lapar.
Ia tidak menghiraukan perkataanku dan terus melanjutkan makan. Tidak lupa ia selalu menambah saat makanan di piringnya habis. Dalam beberapa menit, nasi serta lauk pauk yang kubuat habis. Semua bukan karna Paman Soohyung saja, tetapi juga Dino. Dino memakan banyak lauk pauk, sedangkan Paman Soohyung lebih banyak memakan nasi.
Setelah makan, Paman mengucapkan selamat malam kepadaku dan Dino lalu segera masuk ke kamarnya. Ia terlihat lelah dan juga kenyang di saat bersamaan. Dino membantuku menyuci piring-piring. Sedangkan aku membereskan meja, lalu menyapu. Saat semuanya sudah rapi dan bersih, aku dan Dino berkumpul di ruang tamu dan mulai berbincang. Sudah menjadi rutinitas kami untuk berkumpul sebelum tidur, sekedar berbagi cerita atau diskusi mengenai sesuatu. Dulu kami sering melakukannya bersama ayah dan ibu. Tetapi sejak setahun yang lalu, kami melakukannya hanya berdua.
Selama sejam, Dino bercerita mengenai buku yang dibelinya dan ia juga menanyakan beberapa hal mengenai pelajaran kelas 4 SD yang tidak dia mengerti. Tahun ini, aku sudah memasuki masa SMP sedangkan Dino naik ke kelas 4. Sejak ia masuk kelas 1 SD, Dino sudah sering menanyakanku banyak hal mengenai pelajarannya. Ia lebih suka bertanya padaku daripada kepada ibu atapun ayah. Dan dengan senang hati aku menjelaskan jawabannya.
Jam menunjukkan pukul 9 malam, aku dan Dino pun masuk ke kamar masing-masing bersiap untuk tidur. Sekali lagi aku membayangkan cowok pemilik sapu tangan sambil berbaring menatap langit-langit kamar. Cowok yang memiliki senyum manis dan sangat baik. Beberapa lama setelah itu aku tertidur, dan cowok pemilik sapu tangan muncul di mimpiku.
Author P.O.V
Junghan terburu-buru keluar dari kamar apartement pamannya, ia bangun terlambat. Jam tangan yang ia kenakan, dan merupakan hadiah ulang tahunnya pada tahun lalu dari Dino, sudah menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit. Saat sampai di lantai bawah, Junghan segera berlari menuju tempat parkir dan mengambil sepedanya. Lalu dengan kecepatan penuh, ia mengayuh sepeda ke arah sekolah yang saat perjalanan pindah ke apartemen 2 hari lalu pernah ditunjjukkan paman.
Seoul Middle School, itu nama sekolahnya. Junghan sampai di parkir sepeda sekolahnya tepat pada pukul 7 pagi. Di bereskan seragamnya yang cukup berantakan karena terburu-buru, lalu ia segera berjalan ke arah ruang guru. Sebelumnya ia sempat melihat mading, di sana ada peta sekolah, membuat Junghan mengetahui dimana ruang guru berada.
Sampai di ruang guru, Junghan berbicara dengan seorang guru yang mengurusi keadministrasi-an kepindahannya. Setelah itu Junghan ditemani guru lain untuk segera masuk ke dalam kelas. Guru lain itu merupakan wali kelasnya selama di sekolah ini. Junghan mengikuti wali kelasnya sambil sesekali memperhatikan setiap hal yang ia lalui. Ternyata kelas Junghan tidak jauh dari ruang guru.
Srek.. Wali kelasnya, yaitu Kim Seonsaengnim, membuka pintu kelas dan mempersilahkan Junghan masuk.
Kim Seonsaengnim meminta Junghan berdiri di tengah. Junghan pun berjalan ke tengah lalu menatap mata teman-teman sekelas barunya yang juga tengah menatapnya dengan tatapan ‘Siapa dia?’.
“Baiklah, silahkan anak baru, memperkenalkan diri kepada teman-teman sekelasmu” ujar Kim Seonsaengnim.
“A-anyeong Haseyo, Yoon Junghan imnida. Bangapseumnida” Junghan membungkukkan badannya. Beberapa anak laki-laki menatap Junghan tidak berkedip sedangkan para anak perempuan berbisik-bisik.
“Sekarang Junghan, untuk mempersingkat waktu, kau bisa duduk di kursi kosong sebelah sana.” Kim Seonsaengnim menunjuk sebuah kursi yang berada di dua barisan paling belakang dan dekat jendela. Junghan pun segera mendekati kursi tersebut lalu duduk dengan rapi. Ia menatap ke depan.
Beberapa anak perempuan masih sibuk berbisik sambil memperhatikan Junghan. Sedangkan anak laki-laki ada beberapa yang melirik-lirik Junghan dengan tatapan penasaran.
Selama mata pelajaran Kim Seonsaengnim yaitu Matematika. Junghan mefokuskan diri. Matematika adalah pelajaran kesukaannya. Dan pelajaran yang diajarkan Kim Seonsaengnim sebenarnya sudah ia pelajari, tetapi ia tetap memperhatikan dengan seksama setiap kata yang Kim Seonsaengnim ucapkan. Selain itu Junghan juga menulis seluruh rumus yang diajarkan. Saat Kim Seonsaengnim bertanya, Junghan ikut antusias mengangkat tangan, dan jawabannya selalu benar. Teman-teman sekelasnya berdecak kagum melihat kepintaran Junghan.
Bel Istirahat berbunyi, para anak laki-laki langsung mengerumuni Junghan.
“Kau datang darimana?”
“Kau cewek kan? Tetapi kenapa memakai celana?”
“Boleh aku minta nomormu?
Beribu pertanyaan dilontarkan anak laki-laki yang mengerumuni Junghan. Junghan tidak tau harus menjawab yang mana dulu. Ia kebingungan. Para anak laki-laki tidak berhenti menanyakan banyak hal.
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Junghan.
“Kalian membuatnya bingung. Jangan bertanya hal-hal yang tidak penting. Menjauh darinya.”
Junghan menengok, dan mendapati kejutan yang sangat tidak ia kira. Cowok yang berbicara itu adalah cowok yang sama dengan pemiliki sapu tangan. Matanya terbelalak.
“Ya! Apa urusanmu? Kenapa kau tiba-tiba meminta kami menjauh darinya?” ujar salah satu anak laki-laki sambil melihat ke arah cowok pemilik sapu tangan itu.
“Harusnya aku yang bertanya. Apa urusan kalian? Hingga menanyakan hal-hal yang tidak penting pada seseorang yang baru saja datang? Dan apa kalian tidak melihat ia kebingungan dengan seluruh pertanyaan yang kalian berikan secara bersamaan?”
Anak-anak lelaki itu tidak bisa membalas dan akhirnya menjauhi Junghan. Junghan menatap cowok pemberi sapu tangan itu dengan tatapan sangat berterima kasih.
“Tidak usah berterima kasih. Aku tidak suka melihat seseorang yang didesak seperti itu. Seharusnya kau bisa lebih mengekspresikan diri. Jika kau tidak suka atau tidak nyaman, langsung katakan. Jangan diam, mengerti?”
Junghan mengangguk. Lalu ia segera mengeluarkan sapu tangan yang ia terima kemarin dari cowok itu, dari tas. Lalu memberikannya ke cowok tersebut.
“Ternyata benar, kau adalah orang yang kuberikan sapu tangan kemarin. Sudahlah tidak usah dikembalikan, untukmu saja. Lalu, apakah lukamu baik-baik saja?” tanya cowok itu sambil memperhatikan tangan dan kaki Junghan.
“Ya, sudah baik-baik saja. Semua karna adikku, dia pandai mengobati luka-luka seperti itu dan luka lainnya.”
“Baguslah kalau begitu. Ah! Aku harus pergi. Kita ngobrol lagi nanti, ya!” Cowok pemilik sapu tangan itu berdiri lalu berlari ke luar sekolah tanpa mengambil sapu tangan yang sudah Junghan taruh di mejanya.
Junghan menghela nafas, ia menyayangkan kenyataan bahwa sampai saat ini ia tidak tau nama cowok itu. Seharusnya ia segera menanyakannya tadi. Junghan pun memilih untuk tidak berdiam diri di kelas. Ia bangkit dari kursinya, mengambil sapu tangan si cowok itu, lalu berjalan keluar kelas. Ia berkeliling di sekitar sekolah, bermaksud untuk mengetahui tempat-tempat yang ada di sekolahnya ini. Tetapi semakin lama Junghan semakin tidak tau harus kemana. Sekolahnya ini cukup luas dan memiliki banyak lorong. Akhirnya Junghan tersesat.
Saat sedang bingung, Junghan melihat sebuah pintu. Pintu tersebut terbuka. Dengan hati-hati, Junghan mendekati pintu tersebut dan mengintip ke dalam. Di sana ia menemukan seorang cewek yang tengah dikelilingi oleh beberapa cewek yang lebih besar darinya. Cewek yang dikelilingi itu ketakutan. Junghan langsung sadar bahwa itu adalah pembullyan. Dulu, Junghan juga merupakan korban pembullyan di SDnya.
Tanpa berpikir panjang, Junghan masuk dan langsung berdiri melindungi cewek yang ketakutan itu.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” ucap Junghan sambil menatap tajam cewek yang memiliki tinggi lebih darinya.
“Kau siapa? Jangan menganggu kami. Lebih baik kau pergi, atau kau juga akan kami sakiti.” Jawab cewek di depan Junghan sambil mengepalkan tangannya.
“Kalian tidak boleh menyakiti orang lain dengan mudah seperti ini. Memangnya dia melakukan kesalahan apa? Kalian mundur atau aku akan melaporkan kalian ke guru.”
“Apa? Guru? Kau ingin melaporkan kami ke guru? Silahkan. Kau tidak perlu tau salah dia apa. Aku sudah memperingatimu tapi kau tidak mendengarkan. Girls, pegang dia.” Beberapa cewek yang berdiri di belakang cewek yang berbicara mulai mendekati Junghan. Mereka memegang kedua lengan Junghan. Lalu menarik Junghan menjauh dari si cewek yang ketakutan itu.
Cewek yang ketakutan itu melihat Junghan. Tatapannya sangat takut. Cewek besar yang berbicara tadi mulai melangkah selangkah demi selangkah mendekati cewek kecil itu. Tangannya sudah siap untuk memukuli cewek tersebut. Junghan berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil. Ada 3 cewek yang memeganginya.
Cewek besar itu menggerakkan tangannya untuk memukul pipi cewek itu, Junghan yang melihat itu spontan menutup mata, tidak bisa menyaksikan cewek disakiti di depan matanya.
“Sedang apa kau?” terdengar suara yang Junghan kenal. Suara cowok pemilik sapu tangan.
Junghan membuka mata dan melihat cowok pemilik sapu tangan sedang memegang tangan cewek besar itu sambil memberikan tatapan sangar. Mata cewek besar itu membesar karena kaget. Ia langsung menarik tangannya dari genggaman tangan cowok pemilik sapu tangan.
“Ini bukan urusanmu. Kenapa kau selalu menganggu kegiatan kami? Kau ingin jadi pahlawan?”
“Pahlawan? Untuk apa? Aku menganggu kalian, atau kalian yang menganggu para cewek-cewek lemah dan berusaha memamerkan kekuatan kalian? Bukankah terakhir kali kita bertemu, kau sudah kuperingati untuk berhenti? Dan kau tidak berhenti. Kau ingin aku melakukan hal yang sama padamu seperti terakhir kali?”
“Beraninya kau! Girls, lepaskan cowok berambut panjang itu. Dan hajar dia!” perintah cewek besar itu. Tetapi cewek-cewek yang memegangi Junghan tidak menuruti perintah tersebut. Mereka takut kepada cowok pemilik sapu tangan.
“Huh! Ini semua karenamu, tunggu saja nanti, aku akan membalas atas perlakuanmu yang sangat mengangguku ini!” ujar cewek besar itu lalu berbalik dan keluar dari ruangan, diikuti para cewek yang memegang Junghan. Junghan sudah bebas dari pegangan para cewek.
“Baiklah, akan kutunggu itu, Jung Ji Neul.” Cowok pemilik sapu tangan mendekati cewek kecil yang masih ketakutan.
“Tenanglah, mereka sudah pergi. Jangan takut.” Ucap cowok pemilik sapu tangan mencoba menenenangkan cewek kecil itu.
“T-terima kasih. A-aku harus kembali ke kelas.” Dengan gugup cewek kecil itu membungkuk lalu segera berjalan melewati cowok pemilik sapu tangan dan junghan, keluar ruangan.
“Kau kenapa bisa berada di sini, Junghan? Untung aku sampai tepat waktu. Dan syukurlah kau tidak terluka.” Cowok pemilik sapu tangan mendekati Junghan lalu menjulurkan tangannya, untuk membantu Junghan berdiri.
Junghan menerima uluran tangan cowok pemilik sapu tangan. Ia pun berdiri.
“Sekarang lebih baik kita kembali ke kelas, sebelum bel masuk berbunyi.” Ujar cowok pemilik sapu tangan sambil berjalan keluar. Junghan mengikuti dari belakang.
Sampai di depan kelas, saat cowok pemilik sapu tangan maumembuka pintu. Junghan memegang tangannya.
“A-a... apakah aku bisa mengetahui namamu? Sejak pertama kali kita bertemu kemarin, aku tidak tau namamu.” Ucap Junghan sambil menunduk. Ia entah kenapa merasa malu.
“Namaku? Oh ya benar, kau tidak mengetahuinya ya? Padahal kita sudah bertemu sejak kemarin.”
Junghan mengangguk.
“Namaku itu.........”
To Be Continued.